Sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih
dititik beratkan pada kecerdasan kognitif (pemahaman). Hal ini dapat dilihat
dari orientasi sekolah sekolah yang ada masih sibukkan dengan ujian, mulai dari
ujian mid, ujian akhir hingga ujian nasional. Ditambah latihan-latihan soal
harian dan pekerjaan rumah untuk memecahkan pertanyaan di buku pelajaran yang
biasanya tak relevan dengan kehidupan sehari hari para siswa.
Saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang
tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak
melulu dilihat dari prestasi angka angka. Hendaknya institusi sekolah menjadi
tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk
membangun dan membentuk karakter unggul.
A. Pengertian Pendidikan Karakter
Pengertian karakter adalah merupakan sifat khusus yang berkaitan dengan
kekuatan moral yang dapat dihubungkan dengan watak, tabiat, etika, ahlak, kepribadian seorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi nilai-nilai kebajikan, kemudian diyakini untuk digunakan sebagai
landasan cara pandang, berfikir, bertindak dan bersikap yang berkonotasi
positif.
Menurut Pusat Bahasa Depdiknas Karakter adalah “bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak”.
Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY,
2008), karakter mengacu
kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi
(motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan
bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah
laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai
dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
B. Faktor
Pendidikan Karakter
Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan karakter memiliki
peran yang sangat peting karena perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil
dari proses pendidikan karakter, sangat ditentunkan oleh faktor lingkungan ini.
Dengan kata lain pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup diantaranya
lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik,
dan metode mengajar. Pembentukan karakter melalui rekasyasa faktor lingkungan
dapat dilakukan melalui strategi :
- Keteladanan
- Intervensi
- Pembiasaan yang dilakukan secara Konsisten
- Penguatan.
Dengan kata lain perkembangan dan
pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan,
intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus-menerus
dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus
dibarengi dengan nilai-nilai luhur.
C. Tujuan,
Fungsi dan Media Pendidikan karakter
Pendidikan karakter pada intinya
bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi untuk:
- mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik
- memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur (keragaman budaya, nilai, kebiasaan).
- meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
D.
Nilai-nilai Pembentuk Karakter
Satuan pendidikan sebenarnya selama
ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui
program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan
prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya
pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum.
Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih,
rapih, nyaman, dan santun.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan
pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama,
Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu:
- Jujur
- Toleransi
- Disiplin
- Kerja keras
- Kreatif
- Mandiri
- Demokratis
- Rasa Ingin Tahu
- Semangat Kebangsaan
- Cinta Tanah Air
- Menghargai Prestasi
- Bersahabat/Komunikatif
- Cinta Damai
- Gemar Membaca
- Peduli Lingkungan
- Peduli Sosial
- Tanggung Jawab
- religius
(Puskur. Pengembangan dan Pendidikan
Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10). Nilai dan
deskripsinya terdapat dalam Lampiran 1.)
Meskipun telah terdapat 18 nilai
pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas
pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan
beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya
jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu
daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada
kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai
nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang
esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing
sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
Pendidikan yang diterapkan di
sekolah-sekolah juga menuntut untuk memaksimalkan kecakapan dan kemampuan
kognitif. Dengan pemahaman seperti itu, sebenarnya ada hal lain dari anak yang
tak kalah penting yang tanpa kita sadari telah terabaikan.Yaitu
memberikan pendidikan karakter pada anak didik. Pendidikan
karakter penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif. Beberapa
kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru
tidak dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang
kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak
jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah. Itu
adalah bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif
dan pendidikan karakter.
Ada sebuah kata bijak mengatakan “
ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Sama juga artinya
bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah
buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal
nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan
lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif,
maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang
lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak
mengabaikan pendidikan karakter anak didik.
Pendidikan
karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan
nilai-nilai karakter pada anak didik. ada empat ciri
dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama
FW Foerster:
- Pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut.
- Adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru.
- Adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar.
- Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter penting
bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan
menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas
bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi,
kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan
karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki
kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan
kesuksesan. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat,
ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen
oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui
pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik. Berpijak
pada empat ciri dasar pendidikan karakter di atas, kita bisa
menerapkannya dalam pola pendidikan yang diberikan pada
anak didik. Misalnya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang
hal yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan
dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang
dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil keputusan
terhadap dirinya, menanamkan pada anak didik akan arti keajekan dan
bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya.
Pendidikan karakter hendaknya
dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan
dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar
juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu,
generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari
sistem pendidikan karakter.
Sebagai contoh, suatu hari seorang
anak laki-laki sedang memperhatikan sebuah kepompong, eh ternyata di dalamnya
ada kupu-kupu yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong.
Kelihatannya begitu sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa
kasihan pada kupu-kupu itu dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar
bisa keluar dengan mudah. Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan
segera mengambil gunting dan membantu memotong kepompong agar kupu-kupu bisa
segera keluar dr sana. Alangkah senang dan leganya si anak laki laki
tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si kupu-kupu memang bisa keluar dari sana.
Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap. Apa
sebabnya?
Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang
sedang berjuang dari kepompongnya tersebut, yang mana pada saat dia mengerahkan
seluruh tenaganya, ada suatu cairan didalam tubuhnya yang mengalir dengan kuat
ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang sehingga ia dapat
terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya tidak
dapat mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat merayap.
Itulah potret singkat tentang pembentukan karakter, akan terasa jelas dengan
memahami contoh kupu-kupu tersebut.
Seringkali orangtua dan guru, lupa
akan hal ini. Bisa saja mereka tidak mau repot, atau kasihan pada anak.
Kadangkala Good Intention atau niat baik kita belum tentu menghasilkan sesuatu
yang baik. Sama seperti pada saat kita mengajar anak kita. Kadangkala kita
sering membantu mereka karena kasihan atau rasa sayang, tapi sebenarnya malah
membuat mereka tidak mandiri. Membuat potensi dalam dirinya tidak berkembang.
Memandukan kreativitasnya, karena
kita tidak tega melihat mereka mengalami kesulitan, yang sebenarnya jika mereka
berhasil melewatinya justru menjadi kuat dan berkarakter.
Sama halnya bagi pembentukan karakter
seorang anak, memang butuh waktu dan komitmen dari orangtua dan sekolah atau
guru untuk mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter. Butuh upaya, waktu
dan cinta dari lingkungan yang merupakan tempat dia bertumbuh, cinta disini
jangan disalah artikan memanjakan.
Jika kita taat dengan proses ini maka
dampaknya bukan ke anak kita, kepada kitapun berdampak positif, paling tidak
karakter sabar, toleransi, mampu memahami masalah dari sudut pandang yang
berbeda, disiplin dan memiliki integritas terpancar di diri kita sebagai
orangtua ataupun guru. Hebatnya, proses ini mengerjakan pekerjaan baik bagi
orangtua, guru dan anak jika kita komitmen pada proses pembentukan karakter.
Segala sesuatu butuh proses, mau jadi jelek pun butuh proses. Anak yang nakal
itu juga anak yang disiplin. Dia disiplin untuk bersikap nakal. Dia tidak mau
mandi tepat waktu, bangun pagi selalu telat, selalu konsisten untuk tidak
mengerjakan tugas dan wajib tidak menggunakan seragam lengkap.
Karakter suatu bangsa merupakan aspek
penting yang mempengaruhi pada perkembangan sosial-ekonomi. Kualitas karakter
yang tinggi dari masyarakat tentunya akan menumbuhkan keinginan yang kuat untuk
meningkatkan kualitas bangsa. Pengembangan karakter yang terbaik adalah jika
dimulai sejak usia dini. Sebuah ungkapan yang dipercaya secara luas menyatakan
“ jika kita gagal menjadi orang baik di usia dini, di usia dewasa kita akan
menjadi orang yang bermasalah atau orang jahat”.
G.
Konsep Pendidikan Karakter
Karakter mulai berarti sejak
individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan
nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis,
kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu,
sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur,
menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut,
setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir
positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat,
dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian
diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka,
tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau
unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya
tersebut.
Karakteristik adalah realisasi
perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika,
dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau
unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap
Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta
dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan)
dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut.
Pendidikan karakter dapat dimaknai
sebagai “the deliberate use of all
dimensions of school life to foster optimal character development” (sengaja menggunakan semua dimensi kehidupan
sekolah untuk mendorong pengembangan karakter optimal).
Dalam pendidikan karakter di
sekolah, semua komponen pemangku pendidikan harus dilibatkan, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan
harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter
dimaknai sebagai berikut: “character
education is the deliberate effort to help people understand, care about, and
act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want
for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is
right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be
right, even in the face of pressure from without and temptation from within”
(pendidikan karakter adalah upaya yang
disengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan
nilai-nilai etika inti. Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang kita
inginkan untuk anak-anak kita, jelas bahwa kita ingin mereka bisa menilai apa
yang benar, sangat peduli tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa
yang mereka yakini benar, bahkan di menghadapi tekanan dari luar dan godaan
dari dalam).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru
berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya. Menurut T. Ramli
(2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang
baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga
negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai
luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar
manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang
bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule.
Pendidikan karakter dapat memiliki
tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam
dengan isinya), tanggungjawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta
damai, dan cinta persatuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa
karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani,
tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Penyelenggaraan pendidikan karakter
di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya
dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang
bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi,
dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut
peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada
lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial
yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian
masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar
tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh
karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi
muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian
peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya
sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur
pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan
pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya.
Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan
pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara
barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis
nilai (Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan
kualitas, dan berguna), dan pendekatan klarifikasi nilai.
Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui
penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang
dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural
pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik), yaitu:
- Kognitif - perilaku dimana individu mencapai tingkat "tahu" pada objek yang diperkenalkan.
- Afektif - perilaku dimana individu mempunyai kecenderungan untuk suka atau tidak suka pada objek.
- Konatif - perilaku yang sudah sampai tahap hingga individu melakukan sesuatu (perbuatan) terhadap objek.
- Psikomotorik – prilaku yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tahu kemampuan untuk bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.
Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan
dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir
(intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)
yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
H. Kofigurasi Karakter
Para pakar telah mengemukakan
berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di
antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan;
yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan,
pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan
pendekatan perilaku sosial.
Berbeda dengan klasifikasi tersebut,
Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga,
yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.
Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan
kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi. Berdasarkan pembahasan
di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang
dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik
memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar